Rabu, 30 Desember 2009

FENOMENA KOMUNITAS PUNK DI INDONESIA

Oleh : Hotibin, S.Sos. SH.*)

Mereka ibarat semut-semut hitam yang hidup di bawah tanah.

Berkerumun, saling bicara, dan bahu-membahu mengusung asa setinggi langit,

”sebuah kehidupan bebas, setara dan penuh kedamaian”.

Tiada cara untuk memahaminya, selain menggali tanah dan

menyusuri kegelapan untuk menemukan mereka dalam kesejatiannya.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat maupun para akademisi untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap masalah yang tengah melanda generasi muda di tanah air saat ini.

LATAR BELAKANG

Komunitas anak punk adalah sebuah fenomena sosial yang tengah mewabah di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Mereka berada di pusat-pusat kota dengan penampilannya yang ekstrim. Rambut mohawk ala suku Indian (rambut paku) dengan warna-warni yang terang/menyolok, sepatu boots, rantai dan spike (gelang berduri), body piercing (tindik), jaket kulit, celana jeans ketat, baju yang lusuh, atau t-shirt hitam, membuat setiap mata yang memandang merasa ganjil, curiga dan menyeramkan.



Berbagai kesan dan stigma negatif masyarakat ditujukan terhadap komunitas anak muda ini. Mereka dianggap kriminal, preman, brandal, perusuh, pemabuk, pengobat, urakan, dan orang-orang yang dianggap berbahaya. Hampir di setiap kota, keberadaan komunitas anak punk dipandang sebagai masalah yang meresahkan, sehingga upaya merazia mereka dilakukan dimana-mana dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Salah satunya, sebagaimana diunggap dalam HU ”Batam Pos” berikut ini.

Masalah anak punk di Batam sebenarnya menjadi perhatian anggota DPRD Kota Batam, khususnya Komisi IV yang membidangi kesejahteraan masyarakat. Masalah yang satu ini, membuat Komisi IV angkat tangan serta bingung harus bersikap. Sekretaris Komisi IV Raja Abdul Gani menyatakan, pemerintah sudah melakukan razia terhadap gerombolan anak punk, tetapi tak menyelesaikan masalah. Kini jumlahnya semakin bertambah. Menurutnya, kebanyakan anak punk ini memang terlalu mengikuti model dan gaya hidup yang bebas. Mereka ingin menjalani hidup tanpa ikatan dan aturan. Anak punk juga dianggap memilih jalan hidup dan prinsip yang salah dan berbeda dari manusia pada umumnya. Ketika pemerintah akan membina mereka supaya kembali ke jalan yang benar, anak punk ini tak mendengarkan perkataan orang tua, guru, dan nasehat dari orang lain.

Informasi yang didapat Gani, dari anak punk di sekitar kediamannya, kehidupan anak punk banyak di malam hari. Mereka pulang ke rumah siang dan tidur. Saat malam tiba, mereka pun ke luar dari rumah bersama-sama temannya. Ada keanehan yang dialami gerombolan punk. Mereka tak bekerja, tapi ada uang. Bahkan pulsa handphone selalu ada. ”Saya juga jadi bingung dari mana mereka dapat duit,” ujarnya.

Selanjutnya Gani menyatakan, ”Ini memang sudah menjadi persoalan yang serius. Kita minta masukan dari masyarakat umum, bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan dalam membina anak punk ini”. Mereka tak mungkin diserahkan kepada pihak kepolisian kalau mereka tidak melakukan tindak kriminal. Andai kata ditampung oleh pemerintah, itu juga tak mungkin. Sebab, Batam belum memiliki tempat penampungan khusus. (Batam Pos : Soal Komunitas Punk, DPRD Angkat Tangan, Kamis, 10 Januari 2008).

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa komunitas ini telah dirasakan sebagai suatu masalah sosial dan butuh penanganan yang efektif. Sementara Menteri Sosial RI, Bachtiar Chamsyah memberikan beberapa pernyataan mengenai komunitas ini, ketika ditanya wartawan di VIP room Bandara Polonia Medan menjelang bertolak ke Jakarta saat transit dari Takengon - NAD, Rabu (20/2/2008). Beliau menyatakan bahwa keberadaan anak-anak pengamen di pinggir jalan bergaya aliran musik punk, bukti salah pembinaan orang tua. Anak-anak itu bukan kalangan orang susah, cuma saja salah pembinaan dari para orang tua mereka masing-masing. Kalangan orang tua, sebaiknya melakukan pembinaan anak-anaknya agar jangan terlalu bebas dan menjadi pengamen dipinggir-pinggir jalan, kurang baik dari pandangan orang asing. Kalau cara demikian terus menerus terjadi di pinggir jalan sebagai pengamen dan jauh dari kontrol orang tua, lama-lama bisa terarah ke sifat negatif. Mereka harus dibina agar mereka nantinya hidup layak dan tidak menjadi pemuda nakal masa akan datang. Depsos mempunyai dana untuk pembinaan anak-anak terlantar agar menjadi anak berguna pada masa akan datang. (http://www.waspada.co.id).

Berdasarkan pernyataan di atas, keberadaan anak punk yang mengamen ini merupakan masalah yang bisa berakibat negatif dan perlu pembinaan, baik dari orang tua maupun pemerintah (Depsos).

Pernyataan Mensos lainnya, bahwa mereka bukan dari kalangan orang susah, ada benarnya. Kenyataannya saat ini, komunitas anak punk berasal dari berbagai kalangan. Sebagian anak punk berasal dari keluarga mampu, bahkan ada dari keluarga pejabat. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan yang perlu dicermati. Jika memang mereka orang mampu, mengapa sampai turun ke jalanan. Apa yang melatarbelakanginya ? atau apa sesungguhnya yang mereka cari ?. Jawabannya bisa karena berbagai alasan, namun ini bisa juga menjadi salah satu alasan kita untuk memahami eksistensi punk yang sebenarnya.

Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda dan unik. Komunitas anak punk merupakan bagian dari kehidupan dunia underground. Mereka tidak hanya sekedar sekelompok anak muda dengan busana yang ekstrim, hidup di jalanan dan musik yang keras, tetapi yang mendasar adalah mereka mempunyai ideologi politik dan sosial. Kehadiran mereka adalah perlawanan terhadap kondisi politik, sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.

Salah satunya, seperti terlihat pada pesan politik yang dicoretkan anak punk Bandung di tembok kantor di simpang Jl. Merdeka dan Jl. R.E. Martadinata, “Bubarkan Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara = Racun”, dan “Keraskan Kepala”. Pesan-pesan yang mengerikan, seperti pernah digulirkan Carl Marx, yang membuat bulu kuduk berdiri.

Mereka akan terus berjuang dan mengobarkan slogan, ”punk not dead”. Punk tidak mati. Punk akan selalu hidup selama politik ada di muka bumi ini. Punk akan hidup selama penindasan belum berakhir. Selama ada kesenjangan dalam masyarakat, ketidakadilan, pengekangan kreativitas, perampasan hak-hak, punk akan tetap ada. Inilah prinsip yang akan selalu dipegang teguh oleh para punker sejati.

Barangkali karena slogan tersebut komunitas punk terus berkembang dari hari ke hari. Di Indonesia sendiri, perkembangan komunitas punk yang mulai marak pada pertengahan tahun 90-an mencatat prestasi yang luar biasa. Konon komunitas punk di Indonesia merupakan komunitas dengan populasi terbesar di dunia. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka bumi adalah Indonesia dan Bulgaria.

Dari uraian di atas, rasanya sudah saatnya kita semua memberi perhatian bagi komunitas yang sedang melanda bangsa ini. Sekarang marilah kita sedikit pahami mengenai komunitas punk tersebut, agar kita sama-sama mengerti akan keberadaan dan sepak terjangnya.

APA ITU PUNK ?

Punk merupakan subkultur (sub-budaya) yang pertama kali lahir di London, Inggris. Secara sosiologis, subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan). Jika suatu subkultur memiliki sifat yang bertentangan dengan kebudayaan induk, maka subkultur tersebut dapat dikelompokan sebagai kebudayaan tandingan (counter culture).

Dalam melihat komunitas punk terdapat 3 komponen yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan, yaitu sebagai ideologi, gaya hidup dan genre/jenis musik.

1. Punk sebagai Ideologi

Ideologi politik punk yang kuat mendasari adalah anarkisme. Secara etimologi, anarkisme merupakan kata dasar anarki yang diakhiri dengan isme. Kata anarki adalah tiruan kata asing seperti anarchy (Inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang juga berasal dari kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil) yang disisipi n dengan archos/archia (pemerintah/kekuasaan). Anarchos/ anarchia = tanpa pemerintahan. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti faham / ajaran / ideologi.

Secara keseluruhan anarkisme, yaitu suatu faham yang memper-cayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaan-nya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/ dihancurkan.

Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Ini sebuah kesalahan, karena jelas berbeda sekali antara anarki dengan tindakan destruktif/vandalisme. Sebagaimana menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri. Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bahwa jika dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Komunitas punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Etika semacam ini yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki kekhasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut gerakan Anarko-punk.

Anarko-punk adalah bagian dari gerakan punk yang dilakukan baik oleh kelompok, band, maupun individu-individu yang secara khusus menyebarkan ide-ide anarkisme. Dengan kata lain, anarko-punk adalah sebuah sub-budaya yang menggabungkan musik punk dan gerakan politik anarkisme. Tidak semua punk diiidentikkan dengan anarkisme. Namun, anarkisme memiliki peran yang signifikan dalam punk. Begitu juga sebaliknya, punk memberikan pengaruh yang besar pada wajah dunia anarkisme kontemporer.

Beberapa band punk penting yang cukup popular dan dianggap sebagai pelopor dari gerakan anarko-punk antara lain Crass, Conflict, dan Subhumans. Sedangkan di Indonesia beberapa band anarko-punk yang cukup populer antara lain Marjinal dan Bunga Hitam. Beberapa isu politik yang banyak diangkat oleh anarko-punk antara lain dukungannya terhadap gerakan anti perang, hak hidup satwa, feminisme, isu lingkungan, kebersamaan, anti kapitalisme, dan beberapa kasus-kasus yang juga banyak diangkat oleh para anarkis pada umumnya.

Dalam komunitas punk ini paham anti kapitalis juga menjadi perjuangan yang menonjol, sebagaimana pandangan Errico Malatesta :

"Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas".

2. Punk sebagai Gaya Hidup

Punk lebih terkenal dari hal fesyen yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, body piercing, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Penampilan semacam itu yang sangat menonjol dalam komunitas ini dan menjadi ciri khas anak punk. Busana yang tidak lazim ini pula yang menimbulkan stigma negatif masyarakat terhadap anak punk.

Padahal apa yang dikenakan anak punk bukanlah tanpa makna. Kaum punk memang berpenampilan ”amburadul” bahkan lebih mirip gelandangan, karena bagi mereka ini merupakan cara untuk menunjuk-kan solidaritas terhadap kaum yang masih tertindas di atas bumi ini. Semua yg mereka kenakan adalah simbol keberpihakan mereka pada kaum yang tertindas. Rambut mereka yang bergaya mowhawk adalah cermin dari keberpihakan mereka terhadap suku mowhawk asli Indian yang dibantai orang kulit putih di Amerika. Spike kulit yang mereka kenakan di tangan adalah simbol pengikat tangan terpidana pada kursi listrik yang digunakan untuk mengeksekusi para aktivis yang diculik para diktator di negara-negara barat pada masa itu. Sepatu boot militer yang mereka pakai adalah simbol dari arogansi militer yang harus dilawan dangann kekuatan yang sama. Celana jeans ketat adalah simbol dari nasib kaum minoritas yang selalu terjepit. Rantai dan gembok adalah simbol kekuatan persatuan kaum punk, dan masih banyak lagi. Komunitas punk akan berhenti mengenakan penampilan dan gaya hidup menggelandang ini setelah tidak ada lagi penindasan di atas bumi ini.

Jadi, “Dont judge a book by its cover”, apa yang dikenakan anak punk merupakan simbolisasi kesadaran dan perlawanan. Semua berawal saat sekelompok orang prihatin terhadap nasib sesamanya dan menjadi marah serta berontak karena jiwa muda mereka.

Pada sisi lain, dengan berazas etika DIY (do it yourself), beberapa komunitas punk merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri (indie label) untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. Barang dagangannya tidak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap kapitalisme dan perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.

3. Punk sebagai Genre Musik

Genre atau jenis musik adalah pengelompokan musik sesuai dengan kemiripannya satu sama lain. Sebuah genre dapat didefinisikan oleh teknik musik, gaya, konteks, dan tema musik. Punk merupakan salah satu dari genre musik rock, yaitu salah satu aliran musik yang berirama keras. Secara keseluruhan aliran-aliran dalam rock ini, meliputi Classics Rock, Progressive Rock, Alternative Rock, Hard Rock, Punk Rock, Heavy Metal, Speed Metal, Thrash Metal, Grindcore, Death Metal, Black Metal, Gothic, dan Doom.

Istilah punk muncul pada 1971. Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground Amerika, “Creem”, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi. Musik ini berkembang pada akhir 1970-an yang dipelopori oleh band-band seperti Sex Pistols, The Clash, dan The Ramones.

Punk berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kema-rahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.

Setelah kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.


Pada berbagai kota, sebagian anak punk hidup di jalanan (street punk/OI), tapi sebagian besarnya tidak, dan hanya muncul pada hari/malam-malam tertentu saja. Menjamurnya komunitas/scane punk di kota-kota besar di Indonesia saat ini, menurut sebagian pendapat lebih cenderung karena trend mode saja. Mereka meniru dandanan ala punk karena menyukai dan sedang digandrungi kalangan remaja, tanpa tahu landasan atau filosofi punk yang sebenarnya. Bagi orang-orang yang mengaku sebagai punker sejati, hal ini dianggap merusak citra punk itu sendiri, karena menghilangan “soul” dari punk. Punker sejati memandang punk bukan sekedar gaya hidup (lifestyle), tetapi sebagai jalan hidup (way of life).

Selain itu di dalam punk sendiri terdapat beberapa jenis/komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri, dan terkadang antara yang satu dengan yang lainnya juga sering terlibat masalah. Komunitas/jenis tersebut, yaitu Anarcho Punk, Glam Punk, Crust Punk, Hard Core Punk, Nazi Punk, The Oi, Queer Core, Riot Grrrl, Scum Punk, The Skate Punk, Ska Punk dan Punk Fashion.

Dalam setiap komunitas/jenis ini terdapat potensi yang dapat dianggap bermasalah maupun yang tidak. Misalnya Crust Punk, scene ini diklaim oleh para komunitas punk yang lainnya sebagai scene punk yang paling brutal. Para penganut dari faham ini biasa disebut dengan Crusties. Para Crusties tersebut sering melakukan berbagai macam pemberontakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para Crusties tersebut merupakan orang-orang yang anti sosial, mereka hanya mau bersosialisasi dengan sesama Crusties saja.

Sementara Scum Punk, yang menyebut dirinya Straight Edge Scene. Mereka benar-benar mengutamakan kenyamanan, kebersihan, kebaikan moral dan kesehatan. Banyak anggota dari Scum Punk yang sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat yang dapat merusak tubuh mereka sendiri. Mereka tidak merokok, minum minuman keras, narkoba, dan seks bebas. Mereka melawan image bahwa anak band identik dengan seks bebas dan narkoba, atau menolak idiom “Sex, Drugs, and Rock and Roll”.

Ini berarti bahwa tidak semua anak punk berpotensi bermasalah, atau dianggap negatif, namun pada jenis-jenis tertentu saja yang mungkin dapat menimbulkan masalah bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa begitu banyak dimensi/aspek yang harus kita pahami dari komunitas ini, sehingga perlunya melakukan pengkajian guna menentukan penangan yang efektif bagi mereka.


PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kehadiran komunitas anak punk merupakan masalah sosial yang meresahkan saat ini dan perlu penanganan yang efektif. Upaya yang dilakukan sebagian besar Pemda hanyalah dengan merazia mereka melalui tangan-tangan pihak keamanan atau Satpol PP. Mereka ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan kemudian disuruh pulang. Yang lebih memprihatinkan, meraka ditangkap hanya untuk dipukuli agar jera berada di jalanan. Namun semua itu tak pernah menyelesaikan masalah. Mereka bukan berkurang, tapi semakin bertambah jumlahnya. Upaya represif aparat ini malah semakin menambah kebencian dan dendam mereka. Sebuah upaya yang sungguh-sungguh tidak efektif, dan yakinlah, masalah komunitas ini tidak akan selesai di ujung senapan apalagi pentungan.

Mereka sebagai kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian dan kasih sayang. Untuk itu, keberadaan mereka perlu dipahami secara mendalam, karena kehadiran mereka adalah represtasi dan perlawanan terhadap berbagai keadaan dalam masyarakat. Mereka bukan sekedar sekelompok muda-mudi yang berpenampilan ”edan”, dan sederet stigma negatif.

Siapa lagi yang harus lebih peduli terhadap komunitas ini selain kita, karena komunitas ini menjadi masalah sosial yang berdekatan dengan permasalahan kesejahteraan sosial yang selama ini kita tangani, anak jalanan ataupun pengamen jalanan.

Mari berikan perhatian dan kepedulian kita pada mereka, sebelum anak-anak muda ini kehilangan masa depannya. Mari kita bergerak sekarang, sebelum disebut ”pahlawan kesiangan” nantinya. Pekerja sosial, Dinas Sosial dan Departemen Sosial haruslah menjadi tangan yang pertama menyentuh mereka, menjadi kawan dan mendampingi mereka menuju kehidupan terbaik bagi mereka sebagai anak-anak bangsa.


REFERENSI


Tulisan ini telah diterbitkan pada Jurnal BBPPKS Banjarmasin, Edisi 2008 dengan Judul "Siapa yang Harus Perduli terhadap Komunitas Anak Punk"


Koran :

(Batam Pos : Soal Komunitas Punk, DPRD Angkat Tangan, Kamis, 10 Januari 2008).

Internet:

http://id.wikipedia.org/wiki/Punk"

http://bhorykotzen.wordpress.com
http://freemagz.com

http://www.waspada.co.id


Jumat, 10 Juli 2009

NASIB PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

PENGANTAR

PRT. Sebutan ini merupakan kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga, kini telah digeser menjadi Pekerja Rumah Tangga. Istilah ini ingin menguatkan dan memberi pengakuan terhadap orang yang berkerja pada suatu rumah tangga. Istilah ini dimunculkan mengganti istilah pembantu, pelayan, pramuwisma, atau babu.
Masalah yang satu ini, harus diakui masih kurang mendapat perhatian, baik dalam kontek PRT yang menjadi TKW/migran, PRT anak, maupun persoalan PRT di dalam negeri. Di daerah perkotaan di Indonesia terjadi permintaan yang tinggi akan pekerja rumah tangga (PRT). Kehadiran dan permintaan yang tinggi ini terhadap PRT telah memunculkan persoalan hak asasi manusia. Pertama, jumlah PRT cukup besar sehingga potensi pelanggaran hak-haknya sebagai pekerja juga besar. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang hubungan kerja dan perlindungan hukum bagi para PRT tersebut. Menurut survei Organisasi Buruh Internasional, ILO-IPEC, yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Bekasi dan Jakarta Timur, yang kemudian dihitung hasilnya untuk mendapatkan jumlah PRT yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah seluruh PRT di Indonesia adalah sebanyak 2.593.399 orang, dan jumlah pekerja anak rumah tangga (PART) sebanyak 688.132 anak. Kedua, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa PRT sangat rentan mendapatkan perlakukan yang tidak adil seperti ketidakpastian dalam hal upah, perlakuan yang tidak manusiawi, dan jam kerja yang tidak menentu. Ketiga, bahwa sebagian besar PRT adalah perempuan dan banyak di antara PRT perempuan yang juga mendapatkan perlakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual sampai pada perkosaan.


MASALAH YANG DIHADAPI PRT

Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT sering dilaporkan dalam media massa. Pada banyak kasus, PRT tidak mampu melarikan diri dari siksaan majikan karena mereka tidak memiliki uang dan mereka tidak mengenal lingkungan tempat tinggal mereka. Karena sampai saat ini tidak ada ketentuan hukum yang mengatur proses penerimaan, standar lingkungan kerja, beban kerja dan kondisi kerja untuk PRT, maka PRT rentan mengalami tindak kekerasan.

Masalah PRT memang cukup rumit. Masalah ini semakin rumit karena tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya. Masalah ini tidak berhenti pada agen-agen penyalur tenaga kerja yang tidak mengikuti peraturan resmi, namun meluas ke sistem ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Oleh karena itu, masalah PRT adalah masalah struktural dan kondisi kerja yang sangat berkaitan dengan kemiskinan dan pemiskinan.

1. Masalah Struktural
Pekerjaan PRT berkaitan erat dengan fenomena feminisasi kemiskinan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan miskin, terutama dari perdesaan dan diberi upah rendah. Pekerjaan ini juga tidak memiliki jenjang karir serta tidak dilindungi hukum. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi PRT bersifat struktural, yakni berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Untuk menanggulangi masalah struktural ini, diperlukan perubahan mendasar, terutama di bidang sosial dan ekonomi pada tingkat nasional. Ada dua masalah struktural utama yang dihadapi oleh PRT.
(1) Kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga PRT telah menyebabkan mereka kehilangan kesempatan bersekolah, yang juga menyebabkan mereka tidak mampu memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk terjun ke pasar kerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka terjebak ke dalam kondisi kerja yang tidak layak, yang dapat menjadi kerja paksa. Upah yang rendah menyebabkan mereka pun kelak tidak bisa menyekolahkan anaknya pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga anaknya pun tidak akan jauh kondisinya dengan orang tuanya. Mengurangi kemiskinan akan membantu mengurangi kondisi kerja dan hidup PRT yang tidak layak.
(2) Diskriminasi. Diskriminasi yang dialami PRT perempuan dilandasi oleh konstruksi gender dan kelas sosial. Sebagai perempuan miskin yang menawarkan jasa yang dianggap tidak membutuhkan keahlian khusus, menyebabkan PRT tidak mempunyai kekuatan tawarmenawar ketika berhadapan dengan majikan mereka. Konstruksi gender dan kelas sosial juga membuat mereka pasif dan menerima keadaan begitu saja, dan konstruksi gender juga membuat mereka dibayar lebih rendah dari pekerjaan rumah lainnya, misalnya supir. Mengorganisasi PRT agar dapat menumbuhkan kekuatan mereka untuk menolak diskriminasi gender dan kelas sosial akan membantu mengurangi posisi PRT yang lemah.

2. Masalah Kondisi Kerja
Masalah struktural di atas telah menyebabkan PRT berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak seperti masalah struktural lain yang memerlukan solusi jangka panjang dan perubahan yang lebih luas di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, masalah kondisi kerja ini dapat antara lain ditanggulangi dengan solusi jangka menengah melalui advokasi perlindungan hukum PRT. Masalah-masalah kondisi kerja yang dihadapi oleh PRT adalah sebagai berikut:
• Dipekerjakan pada usia muda; kemiskinan menyebabkan mereka meninggalkan rumah pada usia muda karena orang tua tidak mampu lagi menanggung biaya hidupnya.
• Tidak adanya penghargaan dan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja; jam kerja yang panjang, upah yang rendah, tidak adanya tunjangan sosial dan kesehatan, serta bentuk eksploitasi lainnya yang dilakukan oleh majikan.
• Keluarga dianggap sebagai lingkup pribadi yang tidak dapat diganggu oleh pihak luar, sehingga setiap perlakukan kekerasan yang dialami oleh PR tersebut selalu dianggap sebagai persoalan dalam lingkup keluarga dan orang luar enggan terlibat.
• Eksploitasi oleh agen penyalur PRT; agen selalu menarik uang dari hasil jerih payah PRT setiap bulannya. Penarikan tersebut bervariasi antara satu agen dengan agen lainnya.
• Kekerasan seksual; banyak kasus menunjukkan bahwa PRT sering menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasaan seksual lainnya oleh majikannya atau keluarga majikannya.
• Rendahnya atau tidak adanya akses untuk mendapatkan informasi; PRT dilarang atau diberi kesempatan sedikit untuk bergaul di luar rumah sehingga tidak mempunyai kerabat yang bisa dihubungi apabila terjadi masalah.

Berikut adalah masalah yang dihadapi PRT secara lebih rinci:
a. Upah Rendah
Upah yang diterima PRT jauh di bawah standar upah yang layak dibandingkan dengan jam kerja dan bentuk pekerjaan. Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan standar upah minimum untuk buruh perempuan di sektor formal, namun standar itu tidak mencakup PRT karena mereka dianggap sebagai pekerja domestik di sektor informal. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan upah pekerja lain dan standar hidup secara regional, upah yang diterima PRT paling rendah dengan waktu kerja yang paling panjang. Lebih dari itu, mereka seringkali menerima upah yang lebih rendah daripada yang disepakati sebelumnya. Seharusnya, ada upah standar untuk PRT yang dihitung berdasarkan pengalaman kerja, jenis dan beban kerja, jumlah orang dalam keluarga yang dilayaninya, dan standar hidup regional. Sebenarnya, upah yang layak bukanlah upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan pengalaman kerja.

b. Ketiadaan Standar Jam Kerja
Tidak adanya batas yang ditetapkan untuk beban kerja PRT membuat mereka bekerja lebih lama dari masa kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu selama delapan jam dalam satu hari. Dalam diskusi yang dilakukan bersama-sama dengan para PRT di kantor LSM Rumpun Tjut Nyak Dien (TND), di Yogjakarta, PRT mengemukakan perlunya standar jam kerja untuk menghindari jam kerja yang sangat panjang, yaitu antara 10-16 jam sehari, mulai jam 05.00 pagi sampai sekitar jam 08.00 hingga 10.00 malam. Standar jam kerja seharusnya mengikuti ketentuan yang lazim, yaitu delapan jam per hari. Terlebih lagi, PRT sulit memperoleh waktu istirahat rutin seperti istirahat mingguan, cuti haid, cuti tahunan, dan cuti melahirkan.

c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya
PRT tidak mendapatkan jaminan sosial karena mereka tidak dianggap sebagai pekerja “formal”. Dengan demikian, mereka juga tidak menerima tunjangan kesehatan dan tunjangan lain yang seharusnya diterima oleh pekerja. Jaminan sosial dan tunjangan kesehatan merupakan prasyarat bagi lingkungan kerja yang layak. Karenanya, PRT yang sakit sangat tergantung pada kebaikan majikannya, apakah akan membawanya ke dokter atau hanya mau membelikannya obat di warung. Kalau mendapatkan majikan yang baik, PRT yang sakit juga akan mendapatkan biaya perawatan. Karena hal ini tidak dibakukan, maka semua ini sangat bergantung pada budi baik sang majikan.
Berkaitan dengan hal di atas, perawatan kesehatan PRT membutuhkan perhatian khusus. Sebagaimana diuraikan di bawah, kasus-kasus yang ditangani oleh LSM TND memperlihatkan bahwa banyak masalah yang dihadapi PRT berkaitan dengan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental atau psikologis. Oleh karena itu, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan kesehatan, selain hak untuk memperoleh informasi, harus menjadi prioritas di dalam agenda advokasi PRT. Dalam hal ini, kesehatan reproduksi PRT memerlukan perhatian khusus karena sebagian besar PRT adalah perempuan tetapi mereka tidak berhak mendapatkan cuti haid dan ada juga yang mengalami perkosaan.

d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh LSM TND (2003) memperlihatkan bahwa PRT mudah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual disebabkan beberapa hal berikut:
• Hubungan antara PRT dengan majikan didasarkan pada kekuasaan dan dominasi, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau intimidasi, ancaman, perintah, dan penghinaan yang dilandasi oleh perbedaan kelas sosial dan gender.
• Majikan melihat PRT sebagai orang yang sangat membutuhkan uang tetapi tidak memiliki keterampilan dan pendidikan, sehingga posisi tawar mereka rendah.
• Ketiadaan kontrol sosial dan anggota keluarga lain yang dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap PRT.
Jika seorang PRT hamil akibat hubungan seksual yang dilakukan oleh majikannya, ia akan diminta meninggalkan rumah dan dipandang rendah oleh masyarakat. Sanksi sosial itu menyebabkan beban fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial pada PRT. Terlebih lagi, PRT korban kekerasan seksual harus menanggung rasa bersalah sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain masalah psikologis, PRT perempuan menderita sakit fisik akibat kekerasan seksual, termasuk kemungkinan terjangkit virus penyakit kelamin.
Untuk mengurangi kerentanan PRT, harus dilakukan usaha-usaha yang sekaligus akan menanggulangi masalah struktural dan masalah kondisi kerja PRT. Namun demikian, hingga saat ini tidak ada perlindungan hukum atas hak-hak PRT, sementara upaya mengorganisasi PRT ternyata lebih sulit jika dibandingkan dengan mengorganisasi pekerja di sektor formal. Adanya kendala-kendala ini telah berkontribusi pada meningkatnya kekerasan fisik dan seksual terhadap PRT.

e. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi
Akses PRT untuk mendapatkan informasi, komunikasi, pendidikan, dan hubungan sosial lainnya sangat terbatas. Perlakuan tidak layak dimulai dengan dirampasnya kebebasan PRT oleh majikan mereka, yang menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Situasi semakin parah dengan adanya nilai sosial yang beranggapan bahwa kehidupan keluarga tidak boleh dicampuri, sehingga semakin sulit untuk menawarkan bantuan kepada PRT yang mengalami kekerasan.

f. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga
Dengan keterbatasan akses untuk memperoleh informasi, sangat sulit bagi PRT untuk mendapatkan keterangan tentang pembentukan organisasi yang dapat membela hak mereka sebagai perempuan, pekerja, dan warga negara. Perlindungan hukum terhadap PRT seharusnya menjadi agenda yang paling penting bagi organisasi semacam itu. Masalah ini telah menjadi lingkaran setan. Tanpa perlindungan hukum, hak-hak PRT untuk dapat berkumpul, bersatu, dan membentuk organisasi sangat terbatas. Sebaliknya, ketidakmampuan mereka untuk membentuk organisasi menjadikan mereka sulit untuk memperoleh bantuan untuk melindungi hak, keinginan, dan kebutuhan mereka. Pada masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan PRT itu rendah, PRT mengalami tekanan dari majikan dan juga dari PRT lain ketika mereka ingin membicarakan masalah, kebutuhan, dan minat mereka, serta tidak digubris ketika membicarakan pembentukan organisasi yang dapat mewadahi minat mereka.





STRATEGI PENGATASI PERSOALAN PRT

Stategi untuk mengatasi masalah PRT dapat dilakukan melalui dua pilar utama, yaitu pendidikan-informasi dan pengakuan dan perlindungan hukum.

Pilar pendidikan–informasi
Akses pendidikan – informasi ini adalah “pintu gerbang” atau salah satu “pilar” PRT untuk melakukan perubahan atas kondisinya, membangun posisi tawarnya, mulai melakukan langkah untuk perubahan menuju keadilan – kesetaraan sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.
Ketiadaaan atau kurangnya akses pendidikan–informasi berakibat multidimensi dan berkelanjutan; ketertindasan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan berkelanjutan. Ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi yang telah dialami PRT dari keberangkatannya tidak akan mengalami perubahan signifikan untuk pengembangan dirinya ataupun perubahan sosial, apabila layanan pendidkan kritis dan skill tidak mulai dibangun dan kemudian dikembangkan. Dapat dijumpai dalam pendampingan yang di lapangan ataupun survai, akibat langsung dari ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan tersebut adalah: PRT tidak atau kurang mengetahui bagaimana mereka mengatasi pekerjaan mereka yang penuh dengan persoalan, tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi kesewenangan dan kekerasan.

Pilar pengakuan dan perlindungan hukum PRT
Pilar lain yang mendasar pula diperlukan PRT adalah pengakuan dan perlindungan hukum PRT baik ditingkat lokal ataupun nasional. Pengakuan dan perlindungan ini adalah yang substansial membongkar adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam stereotype pekerjaan dan juga memberi jaminan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di sektor domestik, yang memang mayoritas hingga saat ini perempuan, termasuk hak untuk mengakses hak ekonomi, pendidikan, informasi, sosial, dan hukum.
Akibat atau dampak tidak langsung dari ketiadaan 2 pilar utama terhadap kawan PRT adalah pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia:
• PRT menjadi obyek baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan
• PRT sulit mencapai situasi sejahtera dan yang terjadi kemiskinan keberlanjutan, tidak ada atau minim akses pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik
• PRT lemah dalam bargaining baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
• Tidak terbangun kesadaran dan tindakan kritis secara kolektif untuk melakukan perubahan sosial
• PRT tidak mengenal status sesungguhnya sebagai pekerja dalam arti sebagai pekerja rumah tangga dan hak - kewajiban yang melingkupinya
• PRT menjadi korban kekerasan yang berkelanjutan

Sebagai manusia, pekerja, apapun latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, asal, ras, pilihan profesi dan bidangnya, serta apapun jenis kelaminnya, sudah seharusnya mendapat penghormatan, perlindungan akan hak-hak asasinya sebagaimana prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun penghormatan, penegakan - perlindungan yang demikian, tidak terjadi pada diri PRT ini. Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya.
Berangkat dari persoalan PRT dan situasi sikap-pandangan kelompok sosial yang terkecil hingga terbesar di atas, maka kita bersama-sama dan mengajak segala pihak melakukan advokasi PRT, antara lain: (1). Kampanye, (2). Legislasi, dan (3). Pengorganisasian.


KESIMPULAN
Nasib yang tengah dihadapi oleh PRT ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Keberadaan mereka adalah perjuangan untuk bangkit dari jurang kemiskinan yang semakin hari semakin parah. Mereka adalah komunitas manusia yang termarginalkan. Berbagai persoalan dihadapi komunitas ini, yaitu :
a. Upah Rendah
b. Ketiadaan Standar Jam Kerja
c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya
d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT
e. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi
f. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga
Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya. Kita bersama-sama dan mengajak semua pihak melakukan advokasi PRT, antara lain: (1), Kampanye, (2). Legislasi, dan (3). Pengorganisasian.


Sumber :
Edriana Noerdin, Situasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia, 2004. RUMPUN Tjoet Njak Dien.
Pikiran Rakyat, Gaji PRT Harus Setara dengan UMR, Kamis, 16 April 2009.
Internet : berbagai sumber